Pengaruh Media Sosial Membuat Budaya Kian Menipis

Di sela-sela scroll FYP TikTok atau explore Instagram, pernah nggak sih kamu berhenti sejenak dan sadar? Sadar kalau apa yang kita konsumsi mulai dari musik, gaya berpakaian, sampai cara kita ngobrol kita sekarang terasa begitu seragam, begitu global. Tantangan dance dari Korea, life hack dari Amerika, atau istilah gaul yang entah dari mana asalnya, semua terasa lebih dekat daripada kesenian dari desa sebelah. Inilah realitas yang kita hadapi yaitu : pengaruh media sosial bukan lagi sekadar topik diskusi, melainkan napas kehidupan digital kita sehari-hari. Ia membentuk cara pkamung, aspirasi, dan tanpa disadari, perlahan mengikis beberapa lapis identitas kita.

Pertanyaannya bukan lagi “apakah media sosial memengaruhi kita?”, tetapi “bagaimana kita menyikapinya?”. Banyak yang khawatir, menyebut fenomena ini sebagai erosi budaya, di mana nilai-nilai luhur dan tradisi lokal tergerus oleh arus tren global yang masif. Kekhawatiran ini valid. Namun, menyalahkan platform dan menutup diri bukanlah jawaban. Bagi kita, generasi muda yang lahir dan besar di tengah pusaran digital, ini adalah sebuah panggilan. Panggilan untuk melihat lebih dalam, bukan sebagai korban pasif, melainkan sebagai aktor utama yang bisa membalikkan keadaan. Artikel ini akan mengajak kita menyelami bagaimana pengaruh media sosial bisa menjadi pedang bermata dua, dan bagaimana kita bisa memanfaatkannya untuk digitalisasi budaya, bukan untuk membiarkannya mati suri. Ini adalah tentang mengubah ancaman menjadi peluang, dan pesimisme menjadi sebuah gerakan kreatif.

Panggung Global vs. Ancaman Erosi Budaya

Coba kita jujur, media sosial itu luar biasa. Ia memberikan panggung bagi siapa saja. Bayangkan seorang penenun kain Ulos di Toba bisa menunjukkan karyanya ke seluruh dunia hanya dengan beberapa kali klik. Seorang dalang muda dari Jawa Tengah bisa menyiarkan pertunjukan wayangnya secara live di YouTube. Inilah sisi ajaib dari pengaruh media social yaitu: ia mampu meruntuhkan batasan geografis dan memberikan akses tak terbatas. Budaya lokal yang tadinya hanya dikenal di daerahnya, kini punya potensi untuk mendunia. Inilah bentuk nyata dari demokratisasi budaya.

Namun, di balik panggung gemerlap itu, ada sebuah algoritma yang bekerja tanpa lelah. Algoritma ini dirancang untuk satu tujuan utama yaitu : membuat kita terus scrolling. Caranya? Dengan menyajikan konten yang paling populer, paling banyak ditonton, dan paling banyak dibicarakan. Sayangnya, konten yang “populer” ini sering kali berasal dari budaya dominan global. Akibatnya, linimasa kita dibanjiri oleh konten yang seragam. Inilah awal mula terjadinya erosi budaya. Ketika generasi muda setiap hari terpapar oleh referensi budaya luar yang dianggap lebih “keren” atau “relevan”, secara perlahan tapi pasti, referensi terhadap budaya lokal mulai memudar. Bahasa daerah dianggap kuno, musik tradisional kalah pamor dari K-Pop, dan cerita rakyat terlupakan oleh serial Netflix.

Ini bukan proses yang terjadi dalam semalam. Ini adalah pergeseran persepsi yang halus. Pengaruh media sosial menciptakan sebuah system global tentang apa itu kesuksesan, keindahan, dan hiburan. Bayangkan ketika system itu tidak sejalan dengan kearifan lokal, muncul lah dilema identitas. Kita mulai mempertanyakan, “Apakah budaya saya masih relevan? Apakah saya akan diterima jika saya tampil beda dari tren yang ada?”. Kekhawatiran inilah yang menjadi fondasi dari menipisnya kebanggaan terhadap warisan kita sendiri.

Generasi Muda di Simpang Jalan: Antara Identitas Lokal dan Tren Global

Sebagai generasi yang tumbuh dengan smartphone di genggaman, kita adalah digital natives. Dunia maya adalah taman bermain sekaligus ruang belajar kita. Di sinilah kita mencari teman, validasi, dan yang terpenting, jati diri. Proses pencarian identitas ini membuat generasi muda berada di posisi yang sangat rentan sekaligus strategis. Rentan, karena tekanan untuk menyesuaikan diri dengan tren global sangatlah kuat. Bayangkan hasrat untuk diterima dalam komunitas online sering kali membuat kita mengadopsi identitas global yang disajikan oleh media sosial.

Namun, di sisi lain, posisi ini juga strategis. Kita adalah generasi yang paling fasih menggunakan bahasa digital. Kita paham cara kerja meme, kita tahu cara membuat konten yang viral, dan kita mengerti bagaimana membangun komunitas online. Potensi ini sangat besar. Bayangkan jika kefasihan digital ini kita gunakan untuk tujuan yang lebih besar yaitu : melestarikan dan mempromosikan budaya lokal kita.

Menurut Rhenald Kasali dalam bukunya yang relevan, “The Great Shifting”, kita sedang berada di era di mana terjadi pergeseran besar-besaran dalam banyak aspek, termasuk cara kita berkomunikasi dan berinteraksi. Kasali menyoroti bagaimana platform digital mengubah lanskap bisnis dan sosial. Dalam konteks budaya, Rhenald Kasali (2018) menekankan bahwa mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan digital inilah yang akan bertahan dan bahkan berkembang. Ia menulis, “Di dunia yang serba terhubung ini, bukan yang terbesar yang menang, melainkan yang tercepat dan paling adaptif” (Kasali, 2018, hlm. 45). Kutipan ini menampar kita dengan kenyataan bahwa digitalisasi budaya bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk bertahan. Kita tidak bisa lagi hanya menyimpan budaya dalam museum atau buku-buku tua, kita harus membuatnya “hidup” di platform yang digunakan oleh generasi muda.

Digitalisasi Budaya: Jurus Jitu Melawan Arus

Jika erosi budaya adalah masalahnya, maka digitalisasi budaya adalah solusinya. Ini bukan sekadar memindahkan konten analog ke digital. Digitalisasi budaya adalah tentang mengemas ulang kearifan lokal dengan bahasa dan estetika yang relevan untuk audiens masa kini. Ini adalah tentang kreativitas, inovasi, dan strategi.

Apa saja bentuknya?

  1. Tutorial dan Workshop Online: Banyak anak muda ingin belajar membatik, menari Jaipong, atau bahkan bermain gamelan. Namun, akses sering kali menjadi kendala. Konten kreator bisa membuat tutorial online yang mudah diakses, memecah gerakan atau teknik yang rumit menjadi langkah-langkah sederhana.
  2. Filter dan Efek Media Sosial: Coba bayangkan ada filter Instagram atau TikTok yang memungkinkan pengguna “mengenakan” pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia, lengkap dengan penjelasan singkat tentang maknanya. Ini adalah cara yang menyenangkan untuk memperkenalkan warisan budaya.
  3. Gaming Berbasis Cerita Rakyat: Industri game adalah raksasa. Mengapa tidak menciptakan game petualangan yang diadaptasi dari legenda Malin Kundang, atau game strategi yang terinspirasi dari sejarah Kerajaan Majapahit? Ini akan membuat budaya lokal menjadi bagian dari hiburan favorit generasi muda.

Inisiatif seperti ini membuktikan bahwa teknologi dan tradisi tidak harus bertentangan. Justru, ketika keduanya berkolaborasi, mereka menciptakan sebuah kekuatan baru yang mampu menahan derasnya pengaruh media sosial yang bersifat homogen. Ini adalah cara kita untuk tidak hanya melestarikan, tetapi juga merevitalisasi budaya.

Menjadi Duta Budaya Digital: Dari Konsumen Menjadi Kreator Kamul

Kunci dari keberhasilan digitalisasi budaya terletak pada satu figur sentral yaitu : konten kreator. Bayangkan di era ini, konten kreator bukan lagi sekadar penghibur, mereka adalah influencer, pendidik, dan pembentuk opini. Merekalah yang menjadi duta budaya di garda terdepan. Seorang food vlogger yang konsisten menjelajahi kuliner tradisional di pelosok negeri lebih berdampak daripada kampanye pariwisata jutaan rupiah. Seorang fashion influencer yang dengan bangga memadukan tenun ikat dengan gaya modern memberikan inspirasi nyata bagi jutaan pengikutnya.

Fenomena ini sejalan dengan apa yang dibahas dalam literatur mengenai masyarakat digital. Seorang sosiolog dan pakar media, dalam hal ini kita bisa merujuk pada pemikiran Manuel Castells, meskipun bukan dari buku spesifik, gagasannya relevan. Castells sering membahas tentang “masyarakat jaringan” (network society) di mana kekuatan tidak lagi terpusat, melainkan terdistribusi dalam jaringan. Dalam konteks ini, kreator adalah simpul-simpul (node) penting dalam jaringan informasi. Mereka memiliki kekuatan untuk menyebarkan pesan dan membentuk narasi tandingan terhadap narasi global.

Namun, menjadi duta budaya digital yang efektif tidak cukup hanya dengan modal semangat. Diperlukan seperangkat keterampilan yang mumpuni, seperti cara berbicara di depan kamera agar percaya diri dan persuasif. Selain itu, kita juga harus mampu menyusun cerita yang memikat dari awal hingga akhir. Pemahaman tentang algoritma pun penting agar konten budaya lokal bisa menjangkau audiens lebih luas. Tak kalah penting, bagaimana membangun personal branding yang kuat sebagai representasi budaya inilah tantangan berikutnya.

Asah Keterampilan, Lestarikan Budaya Bersama Talenta Mastery Academy!

Menyadari adanya kesenjangan antara semangat melestarikan budaya dan keterampilan digital yang dibutuhkan, kita perlu sebuah jembatan. Kita perlu wadah untuk mengasah potensi diri agar tidak hanya menjadi penikmat konten, tetapi juga pencipta konten yang berdampak. Di sinilah Talenta Mastery Academy hadir sebagai mitra pertumbuhan Kamu.

Talenta Mastery Academy percaya bahwa setiap individu dari generasi muda memiliki potensi untuk menjadi duta budaya. Namun, potensi tersebut perlu dipoles dengan keahlian yang tepat. Pengaruh media sosial yang begitu besar harus diimbangi dengan kemampuan kita untuk mengendalikannya demi tujuan positif. Bayangkan di Talenta Mastery Academy, Kamu tidak hanya akan belajar teori, tetapi juga praktik langsung dari para ahli di bidangnya.

Bayangkan dan rasakan Kamu mampu:

  • Menguasai Public Speaking: Menyampaikan cerita tentang filosofi batik di depan kamera dengan penuh karisma dan keyakinan.
  • Menjadi Content Creator Kamul: Membuat video-video pendek tentang kearifan lokal yang tidak hanya informatif, tetapi juga viral dan menginspirasi jutaan orang.
  • Membangun Komunitas Digital: Menciptakan ruang online yang positif untuk para pencinta budaya lokal, tempat mereka bisa berbagi dan berkolaborasi.

Pelatihan di Talenta Mastery Academy dirancang khusus untuk Kamu, generasi kreatif yang ingin membuat perbedaan. Talenta Mastery Academy akan membekali Kamu dengan senjata yang paling ampuh di era digital: keterampilan komunikasi dan kreasi konten. Jangan biarkan gagasan cemerlang untuk mempromosikan budaya lokal hanya tersimpan di dalam kepala. Wujudkan gagasan itu menjadi sebuah karya nyata yang bisa dinikmati semua orang.

Ini adalah panggilan untuk Kamu. Ubah kekhawatiran tentang erosi budaya menjadi aksi nyata. Jadilah bagian dari solusi dengan mengasah talenta Kamu. Bergabunglah dengan Talenta Mastery Academy dan mari bersama-sama mengubah pengaruh media sosial menjadi kekuatan terbesar untuk melestarikan dan merayakan kekayaan budaya Indonesia.

Kesimpulan: Masa Depan Budaya di Tangan Kita

Pada akhirnya, pengaruh media sosial terhadap budaya bersifat netral; ia adalah kanvas kosong. Apakah kanvas itu akan diisi dengan lukisan budaya global yang seragam, atau dihiasi dengan mozaik warna-warni dari kekayaan budaya lokal kita, sepenuhnya bergantung pada kuas di tangan siapa. Tangan kita, generasi muda Indonesia.

Ancaman erosi budaya itu nyata, tetapi potensi untuk melakukan digitalisasi budaya jauh lebih besar. Kita memiliki semua alat yang kita butuhkan. Kita memiliki platform, kita memiliki akses, dan yang terpenting, kita memiliki warisan budaya yang tak ternilai harganya. Yang kita perlukan sekarang adalah kemauan untuk belajar, keberanian untuk berkarya, dan keterampilan untuk menyampaikannya secara efektif. Masa depan budaya kita tidak ditentukan oleh algoritma, tetapi oleh kreatornya. Mari menjadi kreator itu.

Hubungi Kami : +62 821-2859-4904

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *