Ngeliat Sisi Baik Tanpa Nutup Mata dari Kenyataan Pahit.

Sebagai anak muda yang lagi berjuang meraih mimpi, pasti sering banget denger nasihat buat selalu berpikir positif. Katanya, dengan berpikir positif, kita bisa menarik hal-hal baik dalam hidup. Tapi, gimana kalau kenyataan yang kita hadapi justru pahit dan nggak sesuai harapan? Nah, di sinilah pentingnya optimisme realistis. Ini bukan cuma soal melihat sisi baik dari segala hal, tapi juga tentang mengakui dan menghadapi kenyataan yang ada tanpa kehilangan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Optimisme realistis adalah kunci untuk membangun resilience yang sejati.

Banyak orang salah mengartikan optimisme sebagai sikap yang naif dan suka menyangkal masalah. Mereka mengira orang optimis itu selalu melihat dunia dengan kacamata pink dan mengabaikan potensi risiko atau kesulitan. Padahal, arti optimisme realistis jauh lebih matang dan bijaksana. Optimisme realistis adalah kemampuan untuk mempertahankan harapan dan keyakinan akan hasil yang positif di masa depan, sambil tetap mengakui dan memahami tantangan serta kesulitan yang ada di masa kini. Jadi, orang yang punya optimisme realistis nggak akan pura-pura semuanya baik-baik aja saat lagi menghadapi masalah, tapi mereka punya keyakinan bahwa mereka bisa melewati masalah tersebut dan mencapai hasil yang lebih baik di kemudian hari.

Kenapa optimisme realistis ini penting banget dalam membangun resilience? Karena hidup itu nggak selalu manis. Akan ada saatnya kita menghadapi kegagalan, penolakan, atau situasi sulit lainnya. Kalau kita cuma punya optimisme yang buta, kita mungkin akan kecewa dan terpukul banget saat kenyataan nggak sesuai harapan. Tapi, dengan optimisme realistis, kita sudah siap menghadapi kemungkinan terburuk, tapi tetap punya harapan dan motivasi untuk mencari solusi dan bangkit kembali. Jadi, optimisme realistis inilah yang jadi jangkar kita saat badai kehidupan menerpa.

Mengapa Optimisme Realistis Jadi Bahan Bakar Resilience yang Efektif?

Lalu, kenapa sih optimisme realistis ini jadi kunci penting dalam membangun resilience? Ini beberapa alasannya:

  1. Mempersiapkan Diri Menghadapi Tantangan: Orang dengan optimisme realistis nggak cuma berharap yang terbaik, tapi juga siap menghadapi kemungkinan terburuk. Mereka akan mempertimbangkan potensi risiko dan membuat rencana cadangan, sehingga nggak terlalu kaget atau terpukul saat masalah benar-benar datang.
  2. Mempertahankan Motivasi dan Harapan: Meskipun mengakui adanya kesulitan, optimisme realistis tetap memelihara harapan akan masa depan yang lebih baik. Harapan ini menjadi sumber motivasi yang kuat untuk terus berusaha dan mencari solusi, bahkan saat situasinya sulit.
  3. Meningkatkan Kemampuan Problem Solving: Dengan optimisme realistis, kita bisa menghadapi masalah dengan kepala dingin dan pikiran yang jernih. Kita nggak akan terlalu panik atau menyerah begitu saja, tapi akan lebih fokus mencari solusi yang efektif dan realistis.
  4. Membangun Ketahanan Mental: Ketika kita terbiasa menghadapi kenyataan pahit sambil tetap mempertahankan harapan, kita akan menjadi lebih tangguh secara mental. Setiap kali berhasil melewati kesulitan, resilience kita akan semakin meningkat.
  5. Menciptakan Sikap Positif yang Lebih Autentik: Optimisme realistis berbeda dengan toxic positivity yang memaksakan kita untuk selalu bahagia dan mengabaikan emosi negatif. Dengan optimisme realistis, kita mengakui dan memproses emosi negatif, tapi tetap memilih untuk fokus pada solusi dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Sikap positif ini terasa lebih autentik dan berkelanjutan.

Cara Mengembangkan Optimisme Realistis dalam Diri Kita. Kabar baiknya, optimisme realistis itu bisa dilatih kok! Ini beberapa cara yang bisa kamu coba:

  1. Akui dan Terima Emosi Negatif: Jangan berusaha menekan atau mengabaikan rasa sedih, marah, atau kecewa. Akui dan proses emosi tersebut dengan cara yang sehat. Dalam perjalanan hidup, kita pasti akan dihadapkan pada berbagai macam emosi, nggak cuma yang positif seperti bahagia dan gembira, tapi juga yang sering kita labeli sebagai “negatif” seperti sedih, marah, kecewa, takut, atau frustrasi. Secara naluriah, kita mungkin cenderung ingin menghindari atau menekan emosi-emosi negatif ini karena rasanya tidak enak. Kita mungkin berusaha untuk mengalihkan perhatian, berpura-pura tegar, atau bahkan menyalahkan diri sendiri karena merasakannya. Padahal, menolak atau mengabaikan emosi negatif justru bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental dan kemampuan resilience kita dalam jangka panjang. Mengapa Mengakui dan Menerima Emosi Negatif Itu Penting?
  • Emosi adalah Informasi: Setiap emosi, baik yang kita anggap positif maupun negatif, sebenarnya membawa pesan atau informasi penting tentang diri kita dan situasi yang sedang kita hadapi. Misalnya, rasa marah bisa jadi menandakan ada batasan kita yang dilanggar, kesedihan bisa muncul sebagai respons terhadap kehilangan, dan ketakutan bisa menjadi sinyal bahaya yang perlu kita waspadai. Dengan mengakui dan menerima emosi negatif, kita memberikan diri kita kesempatan untuk memahami pesan-pesan ini dan mengambil tindakan yang sesuai.
  • Menghindari Penumpukan Emosi: Menekan atau mengabaikan emosi negatif tidak akan membuatnya hilang begitu saja. Emosi yang tidak diolah dengan baik justru bisa menumpuk di dalam diri dan memicu stres kronis, kecemasan, depresi, atau bahkan masalah kesehatan fisik. Dengan mengakui dan menerima emosi negatif, kita memberikan ruang bagi emosi tersebut untuk diekspresikan dan dilepaskan secara sehat.
  • Meningkatkan Regulasi Emosi: Proses mengakui dan menerima emosi negatif adalah langkah awal dalam belajar meregulasi emosi dengan lebih efektif. Ketika kita bisa menerima bahwa kita sedang merasa sedih, misalnya, kita jadi lebih mungkin untuk mencari cara yang sehat untuk mengatasi kesedihan tersebut, daripada terjebak dalam penolakan atau menyalahkan diri sendiri.
  • Membangun Empati pada Diri Sendiri: Menerima emosi negatif adalah bentuk dari self-compassion atau berbelas kasih pada diri sendiri. Kita mengakui bahwa menjadi manusia berarti merasakan berbagai macam emosi, termasuk yang tidak menyenangkan. Dengan bersikap lembut pada diri sendiri saat merasakan emosi negatif, kita membangun ketahanan emosional yang lebih kuat.
  • Memperkuat Resilience: Ketika kita tidak takut pada emosi negatif dan tahu bagaimana menghadapinya, kita akan menjadi lebih resilient dalam menghadapi tantangan hidup. Kita tidak akan mudah goyah atau terpuruk terlalu lama karena kita tahu bahwa emosi negatif adalah bagian normal dari pengalaman manusia dan bisa kita lewati.
  1. Fokus pada Hal yang Bisa Dikontrol: Daripada terpaku pada hal-hal yang di luar kendali kita, lebih baik fokus pada apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki situasi.  Apa Saja “Hal yang Bisa Dikontrol” Itu? “Hal yang bisa dikontrol” itu sebenarnya lebih banyak dari yang kita kira. Ini meliputi:
  • Tindakan Kita: Ini adalah area kendali yang paling jelas. Kita bisa memilih bagaimana merespons suatu situasi, langkah-langkah apa yang akan kita ambil, dan usaha apa yang akan kita kerahkan. Misalnya, saat kena layoff, kita nggak bisa mengontrol keputusan perusahaan, tapi kita bisa mengontrol bagaimana kita mencari pekerjaan baru, networking dengan siapa saja, dan skill apa yang akan kita tingkatkan.
  • Pikiran dan Sikap Kita: Meskipun kita nggak bisa mengontrol apa yang terjadi pada kita, kita punya kendali atas bagaimana kita merespons kejadian tersebut secara mental. Kita bisa memilih untuk fokus pada sisi negatif dan merasa jadi korban, atau kita bisa memilih untuk mencari pelajaran, melihat peluang tersembunyi, dan mempertahankan sikap yang konstruktif. Ini termasuk bagaimana kita berdialog dengan diri sendiri (self-talk).
  • Usaha dan Kerja Keras Kita: Seberapa banyak waktu dan energi yang kita curahkan untuk mencapai tujuan atau mengatasi masalah adalah sesuatu yang sepenuhnya ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk bermalas-malasan atau berusaha sekuat tenaga.
  • Persiapan dan Perencanaan Kita: Meskipun hasil akhir mungkin di luar kendali, kita bisa mengontrol seberapa baik kita mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Misalnya, sebelum presentasi penting, kita bisa mengontrol seberapa matang kita berlatih dan materi apa saja yang kita siapkan.
  • Reaksi Kita Terhadap Emosi: Kita mungkin nggak bisa mengontrol emosi apa yang muncul, tapi kita bisa belajar mengelola dan merespons emosi tersebut dengan cara yang sehat. Misalnya, saat merasa marah, kita bisa memilih untuk menarik napas dalam-dalam atau mencari cara lain untuk menenangkan diri daripada melampiaskannya pada orang lain.
  • Batasan yang Kita Tetapkan: Kita punya kendali atas batasan apa saja yang akan kita tetapkan dalam hubungan, pekerjaan, atau aspek kehidupan lainnya. Kita bisa memilih untuk mengatakan “tidak” pada hal-hal yang akan membebani kita atau merugikan kita.
  • Bagaimana Kita Mencari Bantuan: Meskipun kita nggak bisa mengontrol apakah orang lain akan membantu atau tidak, kita punya kendali atas apakah kita akan mencari bantuan saat membutuhkannya.
  • Bagaimana Kita Merawat Diri Sendiri: Kesehatan fisik dan mental kita sangat memengaruhi kemampuan kita untuk menjadi resilient. Kita punya kendali atas bagaimana kita makan, tidur, berolahraga, dan mengelola stres.
  1. Cari Bukti Positif: Meskipun situasinya sulit, coba cari hal-hal positif kecil yang masih ada. Ini bisa membantu menjaga harapan tetap menyala. Cari Bukti Positif dalam konteks membangun optimisme realistis adalah sebuah proses aktif untuk mengidentifikasi dan mengakui hal-hal baik, keberhasilan kecil, dan potensi positif yang ada dalam hidup kita, bahkan di tengah situasi yang sulit. Ini bukan berarti mengabaikan atau menyangkal kenyataan pahit, tapi lebih kepada menyeimbangkan perspektif kita agar tidak hanya terpaku pada hal-hal negatif.

Bagaimana Cara “Cari Bukti Positif” dalam Kehidupan Sehari-hari?

  • Jurnal Syukur: Setiap hari, luangkan waktu sebentar untuk menuliskan beberapa hal positif yang kamu alami atau syukuri, meskipun kecil. Ini bisa berupa senyuman dari orang asing, keberhasilan menyelesaikan tugas kecil, atau sekadar cuaca yang cerah.
  • Fokus pada Pencapaian Kecil: Jangan hanya fokus pada tujuan besar yang belum tercapai. Akui dan rayakan setiap langkah kecil dan kemajuan yang telah kamu buat. Ini adalah bukti bahwa kamu sedang bergerak ke arah yang benar.
  • Identifikasi Kekuatan Diri: Ingat-ingat lagi kekuatan dan kemampuan yang kamu miliki. Bagaimana kekuatan ini telah membantumu di masa lalu? Bagaimana kamu bisa menggunakannya untuk menghadapi situasi saat ini?
  • Cari Pelajaran dari Kesulitan: Bahkan dalam kegagalan, selalu ada pelajaran yang bisa dipetik. Identifikasi insight atau pengetahuan baru yang kamu dapatkan dari pengalaman tersebut. Ini adalah bukti bahwa kamu sedang bertumbuh.
  • Perhatikan Lingkungan Sekitar: Coba perhatikan hal-hal positif di sekitarmu yang mungkin selama ini terlewatkan. Bisa jadi keindahan alam, kebaikan orang lain, atau kesempatan-kesempatan kecil yang muncul.
  • Ubah Perspektif: Ketika menghadapi masalah, coba tanyakan pada diri sendiri: “Apa sisi baik dari situasi ini?” atau “Peluang apa yang mungkin muncul dari sini?”. Ini akan melatih otakmu untuk mencari bukti positif.
  • Dengarkan Umpan Balik Positif: Terkadang, orang lain melihat hal positif dalam diri kita yang mungkin tidak kita sadari. Dengarkan danInternalisasikan pujian atau apresiasi yang kamu terima.

Cari bukti positif” bukanlah tentang menyangkal emosi negatif atau berpura-pura bahagia saat sedang sedih. Ini adalah tentang melengkapi pandangan kita dengan mengakui bahwa di tengah kesulitan sekalipun, selalu ada hal baik, pelajaran, atau potensi positif yang bisa kita temukan. Dengan melatih diri untuk mencari bukti-bukti positif ini, kita akan menjadi lebih resilient dan mampu menghadapi hidup dengan pandangan yang lebih seimbang dan penuh harapan.

  1. Tetapkan Tujuan yang Realistis: Pecah tujuan besar jadi langkah-langkah kecil yang lebih mudah dicapai. Ini akan memberikan rasa pencapaian dan menjaga motivasi. Ada beberapa tips tambahan untuk Menetapkan Tujuan yang Realistis:
  • Mulai dari Mana Kamu Berada: Kenali kondisi dan kemampuanmu saat ini. Jangan menetapkan tujuan berdasarkan perbandingan dengan orang lain.
  • Pecah Tujuan Besar Jadi Tujuan Kecil: Tujuan jangka panjang yang besar bisa terasa overwhelming. Pecahlah menjadi tujuan-tujuan jangka pendek yang lebih mudah dicapai dan memberikan sense of progress yang berkelanjutan.
  • Pertimbangkan Sumber Daya yang Ada: Evaluasi sumber daya yang kamu miliki (waktu, uang, skill, dukungan) dan pastikan tujuanmu realistis dengan sumber daya tersebut.
  • Cari Tahu Batasanmu: Kenali batasanmu dan jangan memaksakan diri terlalu keras di awal. Tujuan yang realistis menghargai proses dan perkembangan bertahap.
  • Fleksibel dan Adaptif: Meskipun penting untuk punya tujuan, tetaplah fleksibel dan siap untuk menyesuaikan tujuanmu jika ada perubahan situasi atau informasi baru. Tujuan yang realistis juga bisa direvisi seiring berjalannya waktu.
  • Mintalah Pendapat: Jangan ragu untuk meminta pendapat dari mentor, teman, atau orang yang lebih berpengalaman tentang realistis tidaknya tujuanmu.
  • Rayakan Setiap Pencapaian Kecil: Setiap kali kamu berhasil mencapai tujuan kecil yang realistis, rayakanlah! Ini akan meningkatkan motivasi dan kepercayaan dirimu untuk terus maju.

Dengan menetapkan tujuan yang realistis, kamu sedang membangun fondasi yang kuat untuk kesuksesan dan resilience. Kamu belajar untuk menghargai proses, merayakan kemajuan, dan tetap termotivasi meskipun menghadapi tantangan. Tujuan yang realistis bukan berarti kamu nggak boleh bermimpi besar, tapi tentang bagaimana kamu mewujudkan mimpi itu langkah demi langkah dengan cara yang efektif dan berkelanjutan.

  1. Belajar dari Pengalaman: proses aktif untuk menggali makna, mengidentifikasi pelajaran, dan mengubah perilaku kita di masa depan berdasarkan apa yang telah terjadi. Ini adalah fondasi penting untuk pertumbuhan pribadi, profesional, dan tentu saja, untuk membangun resilience. Belajar dari pengalaman melibatkan lebih dari sekadar ingatan pasif. Ini adalah proses refleksi yang mendalam tentang apa yang terjadi, mengapa terjadi, dan bagaimana kita meresponsnya. Ketika kita benar-benar belajar dari pengalaman, kita tidak hanya menghindari kesalahan yang sama di masa depan, tetapi kita juga mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang diri kita sendiri, orang lain, dan dunia di sekitar kita. Proses ini memungkinkan kita untuk beradaptasi lebih baik terhadap perubahan, membuat keputusan yang lebih bijak, dan membangun resilience yang lebih kuat.
  2. Bangun Support System yang Positif: Jaringan orang-orang di sekitar kita yang memberikan dukungan emosional, praktis, dan bahkan informasional. Mereka adalah tempat kita mencari kekuatan, kenyamanan, dan perspektif saat menghadapi tantangan atau merayakan keberhasilan. Support system yang positif lebih dari sekadar kumpulan orang; mereka adalah individu-individu yang secara aktif berkontribusi pada kesejahteraan mental dan emosional kita dengan cara yang membangun dan memberdayakan. Kelilingi dirimu dengan orang-orang yang suportif dan bisa memberikan perspektif yang seimbang.
  3. Latih Mindfulness: Upgrade kemampuan otak kita buat lebih fokus, lebih tenang, dan lebih sadar sama apa yang lagi terjadi di dalam diri kita maupun di sekitar kita. Ini bukan cuma sekadar duduk diam dan nggak mikirin apa-apa (yang mana hampir mustahil buat kebanyakan kita!), tapi lebih ke melatih perhatian kita ke momen saat ini, tanpa menghakimi atau berusaha mengubahnya. Bayangin gini: biasanya, pikiran kita tuh kayak scrolling timeline tanpa henti. Dari mikirin kerjaan yang belum selesai, chat yang belum dibales, sampai rencana liburan yang masih jauh. Nah, mindfulness ini kayak tombol pause buat timeline pikiran itu. Kita jadi bisa lebih sadar sama apa yang lagi kita rasain saat ini: sensasi di tubuh, emosi yang lagi muncul, atau pikiran yang lewat di kepala. Tapi, bedanya sama melamun, di mindfulness kita nggak kebawa arus pikiran itu. Kita cuma mengamati aja, kayak lagi nonton film tentang pikiran kita sendiri.

Terus, gimana sih cara latih mindfulness itu? Nggak susah kok! Kamu bisa mulai dengan hal-hal sederhana:

  • Fokus pada Napas: Ini adalah latihan mindfulness yang paling dasar dan bisa dilakukan kapan saja, di mana saja. Cukup tarik napas dalam-dalam, rasakan udara masuk dan keluar dari hidung atau perutmu. Perhatikan setiap sensasi yang muncul saat bernapas. Kalau pikiranmu mulai melayang, nggak apa-apa, sadari aja lalu lembut bawa lagi perhatianmu ke napas.
  • Perhatikan Sensasi Tubuh: Coba fokus pada sensasi fisik yang kamu rasakan saat ini. Misalnya, sentuhan pakaian di kulitmu, berat badanmu di kursi, atau suhu udara di sekitarmu. Amati setiap sensasi tanpa menghakimi.
  • Latihan Makan dengan Sadar (Mindful Eating): Saat makan, coba perhatikan setiap gigitan. Rasakan tekstur makanan, cium aromanya, dan nikmati setiap rasa yang muncul. Kunyah perlahan dan hindari distraksi seperti handphone atau televisi.
  • Berjalan dengan Sadar (Mindful Walking): Saat berjalan, fokus pada sensasi gerakan tubuhmu, sentuhan kaki ke tanah, dan pemandangan di sekitarmu. Rasakan setiap langkah tanpa terburu-buru.
  • Meditasi Mindfulness: Ada banyak panduan meditasi mindfulness yang bisa kamu temukan di aplikasi atau platform online. Biasanya, meditasi ini melibatkan fokus pada napas, suara, atau sensasi tubuh, dan membimbing kamu untuk tetap hadir di saat ini. Kamu bisa mulai dengan sesi singkat, misalnya 5-10 menit sehari.
  • Perhatikan Pikiran dan Emosi: Coba amati pikiran dan emosi yang muncul tanpa berusaha mengubah atau menilainya. Biarkan pikiran datang dan pergi seperti awan di langit. Sadari emosi yang kamu rasakan tanpa langsung bereaksi.

Latihan mindfulness ini memang butuh kesabaran dan konsistensi. Di awal-awal, pikiran pasti akan sering melayang. Itu wajar banget! Kuncinya adalah untuk terus berlatih dengan lembut dan tanpa menghakimi diri sendiri. Setiap kali kamu menyadari pikiranmu melayang dan kamu kembali fokus pada saat ini, itu adalah satu langkah kemajuan.

Pandangan Para Ahli tentang Optimisme Realistis dan Resilience

Dalam bukunya “Learned Optimism: How to Change Your Mind and Your Life” yang ditulis oleh Martin Seligman dan diterbitkan pada tahun 1990, Seligman, seorang pelopor psikologi positif, menjelaskan perbedaan antara gaya penjelasan optimis dan pesimis dalam menghadapi peristiwa buruk. Beliau menekankan bahwa orang yang optimis cenderung melihat kesulitan sebagai sementara, spesifik, dan eksternal, yang membantu mereka untuk lebih resilient dalam menghadapi tantangan. (Martin Seligman, Learned Optimism: How to Change Your Mind and Your Life, Vintage Books, 1990, hal. 43-78)

Penelitian menunjukkan bahwa optimisme realistis berkorelasi positif dengan tingkat resilience yang lebih tinggi, kesehatan mental yang lebih baik, dan kesuksesan dalam berbagai bidang kehidupan. Orang yang mampu mempertahankan harapan sambil tetap realistis dalam menghadapi tantangan cenderung lebih proaktif dalam mencari solusi dan lebih gigih dalam mencapai tujuan mereka. Jadi, optimisme realistis memang merupakan salah satu kunci penting dalam membangun resilience yang efektif dan berkelanjutan.

Yuk, Latih Optimisme Realistis-mu dan Jadi Pribadi yang Super Resilient Bersama Talenta Mastery Academy!

Pengen jago melihat sisi baik tanpa mengabaikan kenyataan dan jadi pribadi yang super resilient dalam menghadapi segala tantangan hidup? Talenta Mastery Academy punya program pelatihan yang dirancang khusus untuk membantu kamu mengembangkan optimisme realistis! Di pelatihan talenta mastery academy, kamu akan belajar berbagai teknik untuk mengenali dan mengelola emosi, fokus pada solusi, membangun harapan yang realistis, dan mengembangkan mindset yang tangguh.

Talenta mastery academy percaya bahwa optimisme realistis adalah kunci untuk membangun resilience yang berkelanjutan. Melalui pelatihan yang interaktif dan insightful, Talenta Mastery Academy akan membekalimu dengan tools dan pemahaman yang dibutuhkan untuk menghadapi hidup dengan kepala tegak, hati yang penuh harapan, dan keyakinan bahwa kamu bisa melewati segala rintangan. Jangan tunda lagi, saatnya latih optimisme realistis-mu dan raih resilience yang sejati!

Hubungi Kami : +62 821-2859-4904

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *