
Pernah nggak sih kamu mikir, kenapa ada orang yang suka nge-bully? Apa yang sebenarnya terjadi di balik perilaku yang merusak itu? Seringkali, kita cuma fokus pada lukanya si korban, tapi lupa buat kepo sama akar masalahnya. Padahal, memahami penyebab bullying itu krusial banget, lho. Ini bukan soal cari pembenaran buat pelaku, tapi soal memutus mata rantai setan yang namanya perundungan, biar nggak ada lagi korban-korban selanjutnya.
Bullying atau perundungan itu lebih dari sekadar “bercanda doang”. Ini adalah sebuah pola perilaku agresif yang disengaja, terjadi berulang kali, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Anggap saja ini bukan sekadar insiden, melainkan sebuah gejala dari masalah yang lebih dalam. Nah, di artikel ini, kita bakal bedah tuntas apa saja sih penyebab bullying yang seringkali nggak terlihat di permukaan. Kita akan kupas dari sisi psikologis pelaku, pengaruh keluarga, hingga peran lingkungan yang tanpa sadar ikut andil membentuk perilaku ini. Tujuannya satu: biar kita bisa jadi generasi yang lebih peka, solutif, dan berani untuk stop bullying.
Membedah Kompleksitas di Balik Perilaku Bullying
Sebelum kita melangkah lebih jauh, penting banget buat kita sepakat bahwa bullying itu kompleks. Nggak ada satu jawaban tunggal kenapa seseorang menjadi perundung. Perilaku ini adalah hasil dari interaksi berbagai faktor, seperti puzzle yang kepingannya datang dari berbagai tempat. Menganggap pelaku sebagai “anak nakal” atau “orang jahat” hanya akan menyederhanakan masalah dan menutup pintu untuk solusi yang efektif.
Sejatinya, memahami penyebab bullying adalah langkah awal untuk menumbuhkan empati. Bukan pada perilakunya, tetapi pada situasi yang melatarbelakanginya. Dengan begitu, kita bisa merancang intervensi yang lebih tepat sasaran, baik untuk membantu korban pulih maupun untuk membimbing pelaku menemukan jalan yang lebih baik. Mari kita mulai perjalanan ini dengan pikiran terbuka, siap untuk melihat isu ini dari berbagai sudut pandang.
Apa yang Terjadi di Dalam Diri Pelaku?
Seringkali, akar dari perilaku merundung berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Ini bukan berarti mereka terlahir seperti itu, melainkan ada berbagai pergulatan internal dan kekurangan skill sosial yang mereka alami.
1. Haus akan Kekuasaan dan Kendali
Salah satu penyebab bullying yang paling umum adalah hasrat untuk mendominasi. Pelaku seringkali merasa powerless atau tidak berdaya dalam aspek lain di hidupnya. Mungkin mereka merasa tidak didengar di rumah atau tidak menonjol di sekolah. Bullying menjadi cara instan untuk merasakan sensasi berkuasa dan mengendalikan orang lain. Dengan membuat orang lain takut, mereka merasa dirinya “penting” dan “diperhitungkan”. Ini adalah mekanisme kompensasi yang sayangnya sangat merusak.
2. Defisit Empati dan Kecerdasan Emosional
Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan. Banyak pelaku perundungan memiliki tingkat empati yang rendah. Mereka kesulitan membayangkan rasa sakit, takut, atau sedih yang dialami oleh korbannya. Ini seringkali berkaitan erat dengan kurangnya kecerdasan emosional. Mereka tidak terlatih untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi mereka sendiri, apalagi emosi orang lain. Akibatnya, menyakiti orang lain tidak terasa sebagai “masalah besar” bagi mereka.
3. Pernah Menjadi Korban (The Victim Turned Bully)
Lingkaran setan bullying seringkali berputar. Tidak sedikit pelaku perundungan yang ternyata pernah atau sedang menjadi korban di lingkungan lain, misalnya di rumah atau oleh teman yang lebih tua. Perilaku merundung menjadi cara mereka untuk melampiaskan rasa sakit, frustrasi, dan marah yang terpendam. Mereka mengulang pola yang mereka terima, karena hanya itulah cara yang mereka tahu untuk merespons penderitaan. Mengidentifikasi faktor risiko perundungan seperti ini sangat penting untuk memutus siklus tersebut.
4. Sulit Mengelola Amarah dan Impulsivitas
Beberapa individu secara alami memiliki temperamen yang lebih impulsif dan sulit mengelola amarah. Tanpa bimbingan yang tepat untuk menyalurkan emosi-emosi ini secara positif, mereka cenderung mengekspresikannya melalui agresi. Sebuah senggolan kecil bisa ditanggapi dengan kemarahan besar, sebuah candaan bisa dianggap sebagai serangan pribadi. Kemampuan untuk berhenti sejenak dan berpikir sebelum bertindak adalah skill yang belum mereka kuasai.
Peran Lingkungan Keluarga Yang Menjadi Cerminan Pola Asuh di Rumah
Rumah adalah sekolah pertama bagi seorang anak. Apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di rumah akan menjadi fondasi karakter mereka. Tidak heran jika lingkungan keluarga menjadi salah satu penyebab bullying yang paling signifikan.
1. Pola Asuh yang Kurang Hangat
Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang minim kehangatan, afeksi, dan komunikasi positif lebih berisiko mengembangkan perilaku agresif. Ketika kebutuhan emosional mereka tidak terpenuhi, mereka akan mencarinya di luar dengan cara yang salah. Pola asuh yang terlalu keras (otoriter) atau sebaliknya, terlalu abai (permisif), sama-sama bisa menciptakan faktor risiko perundungan. Pola asuh otoriter mengajarkan bahwa kekuasaan dan paksaan adalah cara menyelesaikan masalah, sementara pola asuh abai tidak memberikan batasan moral yang jelas.
2. Menjadi Saksi Agresi di Rumah
Anak adalah peniru ulung. Jika mereka terbiasa melihat agresi, baik verbal (teriakan, makian) maupun fisik, di antara anggota keluarga, mereka akan menganggap perilaku tersebut sebagai hal yang wajar dan dapat diterima. Mereka belajar bahwa beginilah cara orang dewasa berinteraksi dan menyelesaikan konflik. Akibatnya, mereka membawa “cetak biru” kekerasan ini ke dalam interaksi sosial mereka di sekolah.
Seperti yang dijelaskan oleh Barbara Coloroso dalam bukunya yang monumental, “The Bully, the Bullied, and the Bystander”, lingkungan rumah yang tidak menyediakan rasa aman dan penuh hormat akan gagal mengajarkan anak-anak tentang empati dan batasan yang sehat. Coloroso (2003) menekankan bahwa anak-anak yang tidak diajarkan untuk menghargai perbedaan dan menyelesaikan konflik secara damai di rumah, akan kesulitan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut di dunia luar (hlm. 58). Ini menunjukkan betapa vitalnya peran orang tua dalam membentuk anak yang anti-perundungan. Dengan kata lain, upaya untuk stop bullying harus dimulai dari unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga.
Lingkungan Sekolah Menjadi Sebuah Ekosistem yang Membentuk Karakter
Sekolah adalah miniatur masyarakat. Di sinilah anak-anak menghabiskan sebagian besar waktu mereka, berinteraksi, dan membentuk hierarki sosial. Oleh karena itu, iklim sekolah memiliki pengaruh besar terhadap maraknya atau redanya kasus perundungan.
1. Iklim Sekolah yang Permisif
Salah satu penyebab bullying di lingkungan pendidikan adalah adanya iklim sekolah yang seolah-olah “memaklumi” perundungan. Ketika guru atau staf sekolah menganggap bullying hanya sebagai “kenakalan remaja biasa” dan tidak ada sanksi yang tegas, para pelaku merasa mendapat lampu hijau untuk terus beraksi. Kurangnya pengawasan di area-area rawan seperti kantin, toilet, atau halaman belakang sekolah juga menciptakan peluang bagi perundungan untuk terjadi tanpa terdeteksi.
2. Tekanan Teman Sebaya dan Hierarki Sosial
Di dunia remaja, diterima oleh kelompok adalah segalanya. Terkadang, seseorang ikut-ikutan merundung karena tekanan dari teman-temannya atau untuk mempertahankan status sosialnya di dalam geng. Mereka takut jika tidak ikut serta, mereka akan menjadi target selanjutnya. Di sisi lain, popularitas seringkali dikaitkan dengan kekuatan dan dominasi. Individu yang berada di puncak hierarki sosial mungkin menggunakan bullying sebagai cara untuk mempertahankan posisi mereka.
Ken Rigby, seorang akademisi yang mendedikasikan karirnya untuk meneliti perundungan, dalam bukunya “Bullying in Schools and What to Do About It” (2007), menyatakan bahwa intervensi yang efektif harus bersifat menyeluruh dan melibatkan seluruh komunitas sekolah mulai dari guru, siswa, dan orang tua. Rigby berpendapat bahwa menciptakan kebijakan anti-bullying yang jelas dan program edukasi yang konsisten adalah kunci. Menurutnya, “Sekolah harus secara proaktif mengajarkan keterampilan sosial dan empati, bukan hanya bereaksi setelah insiden terjadi” (hlm. 112). Ini menggarisbawahi pentingnya peran institusi pendidikan dalam mencari cara mengatasi bullying secara sistematis, bukan hanya insidental.
Pengaruh Media dan Masyarakat
Kita hidup di era digital, di mana informasi dan tren menyebar secepat kilat. Sayangnya, media dan norma sosial yang lebih luas juga bisa menjadi penyebab bullying yang tidak kita sadari.
1. Normalisasi Kekerasan di Media
Film, acara TV, video game, bahkan berita, seringkali menampilkan agresi sebagai solusi atau sesuatu yang “keren”. Ketika anak dan remaja terus-menerus terpapar tontonan seperti ini tanpa bimbingan kritis dari orang dewasa, persepsi mereka tentang kekerasan bisa bergeser. Mereka mungkin mulai menganggap agresi sebagai cara yang sah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
2. Era Digital dan Lahirnya Cyberbullying
Internet dan media sosial membuka arena baru bagi perundungan: cyberbullying. Pelaku bisa bersembunyi di balik anonimitas akun palsu, membuatnya lebih berani untuk melontarkan komentar jahat, menyebarkan gosip, atau mempermalukan seseorang secara online. Dampak bullying di dunia maya ini sama nyatanya, bahkan terkadang lebih menyakitkan karena jejak digital yang sulit dihapus dan bisa dilihat oleh siapa saja. Fenomena ini menjadi tantangan serius bagi kesehatan mental remaja saat ini.
Membangun Generasi Unggul Bersama Talenta Mastery Academy
Setelah membedah berbagai penyebab bullying, kita jadi sadar bahwa solusinya tidak bisa sepotong-sepotong. Mengatasi bullying membutuhkan pendekatan holistik yang membangun individu dari dalam, memperbaiki lingkungan terdekatnya, dan menciptakan budaya baru yang positif. Ini bukan lagi hanya tentang menghukum pelaku, tetapi tentang membekali setiap individu merupakan calon pemimpin, profesional, dan anggota Masyarakat dengan soft skills yang fundamental.
Memahami penyebab bullying adalah langkah awal yang krusial. Namun, pengetahuan ini perlu diiringi dengan skill praktis untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah mengapa investasi dalam pengembangan diri, seperti mengikuti pelatihan yang terstruktur dan profesional, menjadi sangat relevan dan penting.
Di sinilah Talenta Mastery Academy hadir sebagai mitra pertumbuhan Anda. Talenta Mastery Academy percaya bahwa untuk memutus rantai perundungan dan menciptakan lingkungan yang suportif baik itu di kampus, tempat kerja, atau komunitas, setiap individu perlu dibekali dengan keterampilan unggul. Di Talenta Mastery Academy, Anda tidak hanya belajar teori, tetapi juga dilatih secara intensif untuk mengasah kecerdasan emosional, komunikasi asertif, kepemimpinan yang berempati, dan manajemen konflik. Ini adalah keterampilan esensial untuk tidak hanya mencegah perundungan, tetapi juga untuk membangun karier dan relasi yang sukses. Bayangkan program Talenta Mastery Academy dirancang khusus untuk generasi milenial dan Gen-Z yang ingin menjadi agen perubahan positif. Bergabunglah dengan Talenta Mastery Academy untuk mengubah pemahaman menjadi aksi nyata!
Kesimpulan: Tanggung Jawab Kita Bersama
Pada akhirnya, penyebab bullying adalah cerminan dari kegagalan kolektif kita dalam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar: empati, rasa hormat, dan kebaikan. Perilaku ini berakar dari masalah individu, pola asuh keluarga, iklim sekolah, hingga norma masyarakat yang lebih luas. Namun, dengan memahaminya secara mendalam, kita memegang kunci untuk membuka solusinya.
Mari kita berhenti melihat perundungan sebagai takdir yang tak terhindarkan. Ini adalah masalah yang bisa dan harus kita selesaikan bersama. Mulailah dari diri sendiri, dengan meningkatkan kesadaran dan empati. Lanjutkan di lingkungan keluarga, dengan menciptakan ruang yang aman dan penuh kasih. Dorong perubahan di sekolah dan tempat kerja, dengan menuntut kebijakan yang tegas dan program edukasi yang berkelanjutan. Mari kita bergandengan tangan untuk stop bullying dan berkomitmen membangun sebuah generasi baru, generasi yang kuat karena kebaikannya, bukan karena kemampuannya menindas yang lain. Generasi yang siap memimpin dengan hati.