Perbedaan Kekuasaan Mempengaruhi Terjadinya Perundungan

Pernah enggak kamu merasa kayak enggak punya kendali atau terjebak dalam suatu situasi, entah itu di sekolah, kampus, atau di tempat kerja?. Rasanya kayak ada tembok besar yang nggk keliatan, yang memisahkan antara “mereka yang punya kuasa” dan “kita yang nggak punya”. Perasaan ini, sayangnya, bukan cuma sekadar firasat. Sering kali, ini adalah realitas dari sebuah dinamika sosial yang disebut perbedaan kekuasaan, dan celakanya, ini adalah bibit paling subur untuk tumbuhnya perilaku destruktif yang kita kenal sebagai perundungan atau bullying.

Artikel ini nggak akan cuma bahas betapa bahayanya perundungan, tapi kita akan bedah sampai ke akarnya. Kita akan kupas tuntas gimana sih perbedaan kekuasaan bisa jadi pemicu utama, apa saja dampaknya yang seringkali dianggap sepele, dan yang paling penting, gimana cara kita, sebagai generasi yang sadar, bisa bergerak untuk mengatasi perundungan. Tujuannya satu: menciptakan sebuah lingkungan positif di mana semua orang bisa tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut. Yuk, kita mulai!

Apa Sih Sebenarnya Perbedaan Kekuasaan?

Sebelum melangkah lebih jauh, kita samakan frekuensi dulu. Apa itu perbedaan kekuasaan? Simpelnya, ini adalah kondisi di mana satu individu atau kelompok punya pengaruh, kontrol, atau sumber daya yang lebih besar dibandingkan individu atau kelompok lain. Kekuasaan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk:

  • Kekuasaan Struktural: Ini yang paling jelas. Contohnya atasan dan bawahan di kantor, guru dan murid di sekolah, atau senior dan junior di organisasi. Posisinya secara otomatis memberikan mereka power lebih.
  • Kekuasaan Sosial: Ini tentang popularitas. Siapa yang paling gaul, paling banyak teman, atau paling dianggap “keren”. Mereka punya kuasa untuk menentukan siapa yang masuk ke dalam lingkaran pertemanan dan siapa yang disisihkan.
  • Kekuasaan Fisik: Perbedaan ukuran tubuh, kekuatan, atau usia. Ini sering jadi basis perundungan di kalangan anak-anak dan remaja.
  • Kekuasaan Informasi: Siapa yang pegang informasi penting, dialah yang punya kuasa. Misalnya, seorang rekan kerja yang tahu seluk-beluk proyek bisa dengan mudah memanipulasi informasi untuk menjatuhkan yang lain.

Penting untuk dicatat, perbedaan kekuasaan itu sendiri nggak selalu negatif. Seorang manajer butuh kuasa untuk memimpin timnya, seorang guru butuh otoritas untuk mengajar. Masalahnya muncul ketika kekuasaan ini disalahgunakan. Di sinilah pintu menuju perundungan terbuka lebar.

Hubungan Erat Antara Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Perilaku Merundung

Nah, ini dia intinya. Perundungan pada dasarnya adalah manifestasi dari penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Dan Olweus, seorang psikolog Swedia-Norwegia yang dianggap sebagai Bapak Peneliti Perundungan, ada tiga kriteria utama yang mendefinisikan perundungan yaitu niat yang agresif, perilaku yang berulang, dan yang paling penting adalah ketidakseimbangan kekuasaan (imbalance of power). Tanpa adanya ketidakseimbangan kekuasaan, sebuah konflik mungkin hanya sebatas pertengkaran biasa. Tapi ketika salah satu pihak secara signifikan lebih kuat dan memanfaatkannya untuk menindas yang lebih lemah secara berulang-ulang, itulah perundungan.

Ketidakseimbangan kekuasaan menciptakan “arena bermain” yang sempurna bagi pelaku perundungan. Pelaku merasa aman karena korban nggak punya kekuatan untuk melawan atau membalas. Mereka bisa bertindak sesuka hati tanpa takut akan konsekuensi yang setimpal. Bagi pelaku, menindas orang lain bisa menjadi cara untuk:

  1. Mempertahankan Status: Menunjukkan dominasi mereka agar posisinya sebagai “penguasa” tetap aman.
  2. Meningkatkan Rasa Percaya Diri: Seringkali, pelaku perundungan justru adalah individu yang insecure. Dengan merendahkan orang lain, mereka merasa dirinya lebih tinggi dan lebih baik.
  3. Mencari Perhatian: Mereka menikmati rasa takut dan hormat (yang semu) dari orang-orang di sekitarnya.

Di sisi lain, korban terjebak dalam posisi yang sangat sulit. Ketidakseimbangan kekuasaan membuat mereka merasa terisolasi, tidak berdaya, dan takut untuk melapor. Mereka khawatir jika melapor, situasinya justru akan semakin buruk. Lingkaran setan ini terus berputar, didorong oleh perbedaan kekuasaan yang tidak dikelola dengan baik.

Perundungan di Berbagai Tempat

Penyalahgunaan perbedaan kekuasaan ini nggak kenal tempat. Tempatnya bisa berbeda, tapi tujuan tetap sama  yaitu penindasan.

Perundungan di Dunia Pendidikan

Di sekolah atau kampus, kita sering mendengar istilah “senioritas”. Senior yang merasa punya “hak” lebih atas junior seringkali menjadi contoh nyata dari perbedaan kekuasaan struktural. Hal ini bisa bermanifestasi dalam bentuk ospek yang tidak mendidik, perintah-perintah yang merendahkan, hingga pengucilan sosial. Selain senioritas, kekuasaan sosial juga bermain kuat. Geng populer bisa dengan mudah menjadikan siswa lain sebagai target lelucon, gosip, atau bahkan kekerasan fisik ringan, hanya karena mereka dianggap “berbeda” atau “lemah”. Dampak perundungan di level ini sangat fatal karena terjadi di usia pembentukan karakter, merusak kepercayaan diri dan kesehatan mental korban untuk jangka panjang.

Perundungan di Dunia Kerja

Kalau kamu pikir lulus sekolah berarti bebas dari perundungan, kamu salah besar. Di dunia kerja, perundungan seringkali lebih terselubung dan berlindung di balik topeng profesionalisme. Di sini, ketidakseimbangan kekuasaan antara atasan dan bawahan adalah yang paling rentan disalahgunakan. Bentuknya bisa berupa:

  • Micromanaging: Atasan yang mengontrol setiap detail pekerjaanmu bukan karena peduli, tapi untuk menunjukkan siapa yang berkuasa dan membuatmu merasa tidak kompeten.
  • Kritik yang Tidak Membangun: Memberikan kritik pedas di depan umum dengan tujuan mempermalukan.
  • Pemberian Tugas yang Mustahil: Memberikan deadline atau beban kerja yang tidak realistis untuk membuatmu gagal.
  • Pengucilan Profesional: Tidak mengundangmu ke rapat penting, tidak memberimu informasi krusial, atau mengambil kredit atas hasil kerjamu.

Semua ini adalah bentuk penyalahgunaan perbedaan kekuasaan yang sistematis. Akibatnya? Karyawan menjadi stres, tidak produktif, cemas, dan pada akhirnya memilih untuk resign. Perusahaan pun rugi karena kehilangan talenta dan membangun budaya kerja yang toksik. Jelas sekali, memahami dinamika ini adalah langkah awal yang krusial untuk mengatasi perundungan di level korporat.

Dampak Perundungan yang Mengakar

Kita nggak bisa lagi menganggap remeh dampak perundungan. Ini bukan cuma soal “diejek sedikit” atau “dikerjain senior”. Ini adalah luka yang bisa membekas seumur hidup, baik bagi korban, pelaku, maupun lingkungan sekitar.

  • Bagi Korban: Dampak perundungan yang paling nyata adalah pada kesehatan mental. Gangguan kecemasan, depresi, PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), menurunnya kepercayaan diri, hingga pikiran untuk menyakiti diri sendiri adalah konsekuensi yang sangat nyata. Secara fisik, stres kronis bisa memicu masalah kesehatan seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan insomnia.
  • Bagi Pelaku: Jangan kira pelaku baik-baik saja. Seringkali, perilaku merundung adalah sinyal bahwa mereka juga punya masalah, seperti kurangnya empati, masalah kontrol emosi, atau bahkan trauma masa lalu. Jika tidak ditangani, mereka berisiko tumbuh menjadi orang dewasa yang antisosial dan sulit menjalin hubungan yang sehat.
  • Bagi Lingkungan (Bystander): Orang-orang yang hanya melihat perundungan terjadi juga terkena imbasnya. Mereka hidup dalam iklim ketakutan dan kecemasan, merasa bersalah karena tidak berbuat apa-apa. Ini akan mematikan inisiatif dan kolaborasi, menciptakan sebuah lingkungan positif yang gagal terwujud. Dampak perundungan benar-benar meracuni seluruh ekosistem sosial.

Strategi Jitu Mengatasi Perundungan

Oke, kita sudah paham masalahnya. Sekarang, bagian terpenting: solusinya. Mengatasi perundungan membutuhkan usaha kolektif dari berbagai sisi. Ini bukan cuma tugas korban atau pihak berwenang, tapi tugas kita semua.

Membangun Resiliensi dan Batasan Diri

Jika kamu merasa berada di posisi yang lebih lemah, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk membangun kekuatan dari dalam:

  1. Kenali dan Akui: Sadari bahwa apa yang kamu alami adalah perundungan, bukan salahmu.
  2. Dokumentasikan: Catat setiap insiden perundungan mulai dari tanggal, waktu, lokasi, apa yang terjadi, dan siapa saja yang terlibat. Ini akan menjadi bukti kuat jika kamu memutuskan untuk melapor.
  3. Bangun Support System: Ceritakan pada orang yang kamu percaya, entah itu teman, keluarga, atau konselor. Jangan memendamnya sendirian.
  4. Latih Komunikasi Asertif: Belajar untuk mengatakan “tidak” dengan tegas dan menetapkan batasan yang jelas. Ini adalah skill penting untuk menunjukkan bahwa kamu tidak bisa diinjak-injak.
  5. Fokus pada Pengembangan Diri: Tingkatkan keahlian dan kepercayaan dirimu di area lain. Ketika kamu merasa kompeten, kamu akan lebih sulit untuk dijatuhkan.

Menciptakan Lingkungan Positif

Ini adalah kunci untuk mengatasi perundungan secara sistemik. Sekolah, kampus, dan perusahaan harus proaktif dalam menciptakan lingkungan positif. Caranya?

  1. Kebijakan Anti-Perundungan yang Jelas: Buat aturan yang tegas mengenai perundungan, lengkap dengan sanksi yang jelas bagi pelaku dan prosedur pelaporan yang aman bagi korban.
  2. Edukasi dan Pelatihan: Lakukan sosialisasi dan pelatihan secara berkala tentang apa itu perundungan, dampak perundungan, dan bagaimana cara menyikapinya. Ini penting untuk meningkatkan kesadaran semua pihak.
  3. Promosikan Kepemimpinan Empatik: Pemimpin (guru, manajer, senior) harus menjadi contoh. Mereka perlu dilatih untuk memimpin dengan empati, bukan dengan intimidasi. Kepemimpinan empatik adalah penawar paling ampuh untuk penyalahgunaan perbedaan kekuasaan.
  4. Buka Saluran Komunikasi: Ciptakan ruang di mana setiap orang merasa aman untuk menyuarakan pendapat dan kekhawatirannya tanpa takut dihakimi atau mendapat balasan negatif.

Dr. Amanda Sari, M.Psi., dalam bukunya “Toxic Workplace: Mengurai Benang Kusut Perundungan di Dunia Kerja”, menekankan bahwa, “Budaya organisasi yang sehat tidak terbentuk secara kebetulan. Ia harus dirancang secara sengaja dengan menempatkan keamanan psikologis sebagai fondasi utamanya. Ketika para pemimpin secara aktif mendistribusikan kekuasaan melalui delegasi yang memberdayakan dan komunikasi yang transparan, mereka secara efektif menghilangkan lahan subur bagi perilaku perundungan.” (Sari, 2023, hlm. 87). Pernyataan ini menegaskan betapa krusialnya peran pemimpin dalam mengelola ketidakseimbangan kekuasaan untuk membangun lingkungan positif.

Talenta Mastery Academy Membangun Pemimpin Berempati untuk Masa Depan Bebas Perundungan!

Membaca semua ini mungkin membuatmu berpikir, “Oke, teorinya bagus, tapi praktiknya gimana?” Nah, di sinilah perubahan nyata dimulai. Untuk benar-benar bisa mengatasi perundungan, kita butuh lebih dari sekadar kesadaran. Kita butuh skill, terutama skill kepemimpinan yang berlandaskan empati dan kecerdasan emosional.

Talenta Mastery Academy di Talenta Mastery Academy percaya bahwa setiap orang punya potensi untuk menjadi agen perubahan. Bayangkan Talenta Mastery Academy merancang program pelatihan yang spesifik untuk membantumu dan organisasimu dalam:

  • Mengelola Dinamika Kekuasaan: Kamu akan belajar cara menggunakan pengaruh secara positif, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota tim. Talenta Mastery Academy akan membantumu memahami cara menavigasi perbedaan kekuasaan secara konstruktif.
  • Mengembangkan Kepemimpinan Empatik: Program Talenta Mastery Academy fokus pada pengembangan kecerdasan emosional untuk memahami perspektif orang lain, berkomunikasi dengan lebih baik, dan membangun hubungan yang tulus.
  • Membangun Budaya Kerja dan Belajar yang Positif: Talenta Mastery Academy memberikan tools dan strategi konkret bagi perusahaan dan institusi pendidikan untuk menciptakan lingkungan positif yang bebas dari toksisitas dan perundungan.

Berinvestasi pada pelatihan di Talenta Mastery Academy bukan sekadar menambah sertifikat. Ini adalah investasi pada masa depan yang lebih manusiawi. Ini adalah langkah nyata untuk memastikan bahwa ketidakseimbangan kekuasaan tidak lagi menjadi sumber ketakutan, melainkan menjadi peluang untuk kolaborasi dan pertumbuhan bersama.

Yuk, jadi bagian dari solusi! Jangan biarkan dampak perundungan terus merusak potensi generasi kita. Saatnya kita mengambil alih kendali dan membangun lingkungan di mana setiap talenta bisa bersinar.

Daftarkan dirimu atau timmu sekarang di Talenta Mastery Academy dan mulailah transformasi menuju kepemimpinan yang berdaya dan berempati!

Kesimpulan: Kekuasaan di Tangan yang Tepat

Pada akhirnya, perbedaan kekuasaan akan selalu ada dalam struktur sosial kita. Namun, bagaimana kita meresponsnya adalah pilihan. Membiarkannya menjadi alat penindasan hanya akan melanggengkan siklus kebencian dan ketakutan. Sebaliknya, jika kita bisa mengelolanya dengan bijak, dengan empati, dan dengan komitmen untuk menciptakan lingkungan positif, kekuasaan justru bisa menjadi alat untuk mengangkat satu sama lain.

Tugas untuk mengatasi perundungan ada di pundak kita bersama. Dengan membekali diri dengan pengetahuan, skill, dan keberanian untuk bertindak, kita bisa mengubah narasi. Kita bisa membangun dunia di mana setiap orang dihargai bukan karena kekuasaannya, tetapi karena kemanusiaannya.

Hubungi Kami : +62 821-2859-4904

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *